Tag: SosialBudaya

  • Budaya Massa, Agama, dan Wanita

    Budaya Massa, Agama, dan Wanita

    Mode pakaian, televisi, film—semua karya kreatif yang diproduksi secara masif dan ditunjang teknologi serta industri tinggi— bisalah dimasukkan dalam batasan budaya massa. Lalu, apa kaitan antara antara budaya massa, wanita, dan agama? Merangkum tiga topik utama—budaya massa, wanita, dan agama—kumpulan risalah ini membahas produksi dan konsumsi berbagai karya kreatif massal itu dengan perspektif gender dan agama; kaitan antara perempuan dan televisi, antara media hiburan dan fatwa haram, antara sensor film dan moral rights. Veven Sp. Wardhana—

    Penulis: cerpen, novel, dan karya fiksi lain—adalah jurnalis sekaligus penghayat budaya massa. Selama hidupnya, ia telah menerbitkan beberapa judul buku tentang budaya massa. Buku ini adalah karyanya yang terakhir sebelum menghadap sang Khalik
    Penulis: Veven Sp. Wardhana
    Perancang
    Sampul: & Penataletak: Aldy Akbar
    Kategori: Nonfiksi, Sosial Budaya
    Terbit: Juni 2013
    Harga: Rp
    Tebal: 248 halaman
    Ukuran: 135 mm x 200 mm
    Sampul: Softcover
    ISBN: 9789799105967
    ISBN: Digital:
    ID KPG: 901130691
    Bahasa: Indonesia
    Usia: 13+
    Penerbit: KPG E-Book
    Gramedia digital Buku Terkait

  • Tri Hita Karana: The Spirit of Bali

    Tri Hita Karana: The Spirit of Bali

    This book neither wants to make an accusation nor impose things that are impossible to carry out. It merely wants to make the Balinese and tourists aware of what is happening in this paradise on earth and about the positive influence they can have in preserving the culture of the beautiful island of Bali. Tri Hita Karana, the Spirit of Bali originated from the rich Balinese-Hindu philosophy. Tri Hita Karana means three causes of happiness; balanced and harmonious relationships of humans with God; of humans with fellow human beings; and of humans with the surrounding nature. Respect and togetherness are essential values in this philosophy. The Hindu doctrine of tat tvam asi, “I am you and you are me”, teaches us that all things are connected. Humans who do not respect God, fellow humans, and nature are not respecting themselves, and this will eventually lead to self-destruction. Respect and togetherness will lead to harmony and happiness. Since the Balinese are already living according to the age-old philosophy of Tri Hita Karana, they can contribute to a sustainable environment for their children. The past and the present cannot be separated from each other; the present is born out of the past. Our actions to create a sustainable environment today matter, or in Gandhi’s words: the future depends on what we do today. The authors, Jan Hendrik Peters, a former professor of service studies and Wisnu Wardana, chief-

    Editor: of Bali Travel Newspaper, are deeply concerned about the negative influences of mass tourism and want to plead for a sustainable future for Bali, by writing this book. “We really do need this book on Bali to make the Balinese people and the international tourists familiar with the essence of Hinduism. If the Balinese follow the philosophy of Tri Hita Karana as a guide in their personal life and business, it means that Bali will be the Island of the Gods forever.” —Ida Pedansa Subali Trianyar, Hindu high priest, Chairman of the Council of Hindu Priests in Indonesia.
    Penulis: Jan Hendrik Peters dan Wisnu Wardana
    Editor: Meliza Sopandi
    Perancang
    Sampul: & Penataletak: Fernandus Antonius
    Kategori: Nonfiksi, Sosial Budaya
    Terbit: November 2013
    Harga: Rp
    Tebal: 452 halaman
    Ukuran: 150 mm x 230 mm
    Sampul: Softcover
    ISBN: 9789799106377
    ISBN: Digital:
    ID KPG: 901130732
    Bahasa: Inggris
    Usia: 15+
    Penerbit: KPG

  • Peradaban Tionghoa Selayang Pandang

    Peradaban Tionghoa Selayang Pandang

    Peradaban Tionghoa telah ratusan tahun lamanya mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Sebagian ajaran filsafat, karya sastra, perayaan hari besar, ilmu dagang arsitektur, hingga kulinernya telah berkembang dan menjadi bagian dari budaya Indonesia masa kini. Nio Joe Lan (1904-1973),

    Penulis: Melayu Tionghoa terkemuka di zamannya, menuturkan dengan lugas dalam buku ini makna berbagai leluri atau adat kebiasaan Tionghoa yang sering kita jumpai. Tercakup di dalamnya antara lain: Peringatan hari-hari besar Tionghoa Makna warna dalam kebudayaan Tionghoa Pemujaan leluhur dan bakti anak pada orangtua Peristiwa duka cita dan suka ria Tionghoa Kaligrafi Perhitungan shio Membaca buku ini kita diajak melihat kembali akar peradaban yang menjadi salah satu unsur pembentuk budaya Indonesia.
    Penulis: Nio Joe Lan
    Penyunting: Laras Sukmaningtyas
    Perancang
    Sampul: Fernandus Antonius
    Ilustrasi
    Sampul: Pandu Dirgantara
    Penataletak: Dadang Kusmana
    Kategori: Nonfiksi, Sosial Budaya
    Terbit: Januari 2013
    Harga: Rp
    Tebal: 374 halaman
    Ukuran: 135 mm x 200 mm
    Sampul: Softcover
    ISBN: 9789799105288
    ISBN: Digital:
    ID KPG: 901130622
    Usia: 15+
    Bahasa: Indonesia
    Penerbit: KPG E-Book:
    Gramedia digital Buku Terkait:

  • Kolonialisme dan Etnisitas: Batak & Melayu di Sumatra Timur Laut

    Kolonialisme dan Etnisitas: Batak & Melayu di Sumatra Timur Laut

    SUMATRA TIMUR LAUT merupakan kawasan yang sangat menarik untuk meninjau sejarah etnisitas di Nusantara. Dari dulu para pengembara, kemudian para ilmuwan, beranggapan bahwa Sumatra Timur Laut didalami dua masyarakat utama yang dikatakan terpisah: masyarakat Melayu yang hidup di tepi laut, beragama Islam, beradab, dan terbuka pada dunia luar; dan masyarakat Batak di pedalaman yang hidup secara tertutup dengan kepercayaan sendiri sebelum memeluk agama Kristen. Sepertinya yang menentukan kehidupan sosial sejak ratusan tahun lalu adalah etnisitas. Buku ini menyajikan tafsiran yang lain tentang sejarah Sumatra Timur Laut sampai Perang Dunia II. Walaupun sumber-sumber sejarah prakolonial mengenai kawasan itu tidak banyak, telah ditunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat di pedalaman dan masyarakat di tepi laut bukan dua satuan etnis yang bertentangan. Sebaliknya keduanya adalah golongan-golongan sosial yang bergantung satu sama lain, sejak setidaknya akhir milenium pertama Masehi hingga akhir abad ke-19. Permisahan antara masyarakat pantai dan pedalaman baru timbul setelah kedatangan penjajah bersama suatu gelombang migrasi yang luar biasa besar mulai akhir abad ke-19 secara bertahap, yang menyebabkan kesenjangan sosial dan ekonomi. Sesudah tiga dekade yang diwarnai aksi sejumlah gerakan berdasarkan nativisme dan mesianisme, maka baru pada akhir 1910-an etnisitas mekar dengan nyata.

    Penulis: Daniel Perret
    Penerjemah: Saraswati Wardhany
    Perancang
    Sampul: Wendie Artswenda
    Tata Letak: Atika Suri Fanani
    Foto
    Sampul: Penari Bertopeng, budaya Karo-Simalungun Pameran budaya Batak, Batavia 1919 (Tropenmuseum, Amsterdam )
    Kategori: Nonfiksi, Sosial Budaya
    Terbit: April 2010
    Harga: Rp
    Tebal: 448 halaman
    Ukuran: 160 mm x 240 mm
    Sampul: Softcover
    ISBN: 9789799102386
    ISBN: Digital:
    ID KPG: 95004100332
    Usia: 15+
    Bahasa: Indonesia
    Penerbit: KPG Buku Terkait:

  • Perlawanan Politik dan Puitik Petani Temanggung

    Perlawanan Politik dan Puitik Petani Temanggung

    DIANGKAT DARI disertasi

    Penulis: , buku ini menyajikan studi tentang perlawanan petani Temanggung dalam merebut kembali hak-hak hidup mereka setelah keluarnya PP No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Dengan disahkannya peraturan ini, petani merasa nasib mereka betul-betul terancam. Uniknya, petani “berperang” dengan “senjata” kidung yang puitik. Mereka berperang dengan mantra yang memancarkan religio-magisme yang mencekam. Mereka pun berperang dengan ritus yang menyajikan suasana kudus, dengan sajen yang menghubungkan dunia ini dengan dunia sana, yang menciptakan keyakinan bahwa apa yang manusiawi ini juga sekaligus bersifat ilahi. Pada tataran teoretik, buku ini memperlihatkan betapa perlawanan petani tembakau Temanggung serba dihayati dengan kesungguhan dan mendalam. Berbeda dengan teori James Scott—ahli politik dan antropologi—yang menyatakan bahwa perlawanan petani diwarnai sikap serba pura-pura. Selain itu, perlawanan petani dalam kajian Scott bersifat prosaik, tapi tanpa penjelasan rinci mengapa atau apa sebabnya prosaik. Buku ini menggambarkan dengan gamblang bahwa perlawanan petani tembakau Temanggung merupakan suatu ekspresi puitik yang dibingkai oleh tradisi, dan di dalamnya mengandung ruh kearifan dan aesthetic of art dalam corak puisi maupun mantra, kidung, dan tari, yang dalam buku ini disebut ekspresi puitik. Dari segi
    Penulis: an karya ilmiah, buku ini juga menawarkan sesuatu yang segar. Mengutip Paul Benson, seorang
    Editor: , khususnya dalam
    Penulis: an etnografi di kalangan antropolog, buku ini merupakan poetically crafted prose dan artful science.
    Penulis: Mohamad Sobary
    Kategori: Nonfiksi, Politik, Sosial Budaya
    Terbit: 14 Juli 2016
    Harga: Rp 61.900 (E-book)
    Tebal: 348 halaman
    Ukuran: –
    Sampul: Softcover
    ISBN: 9786024240752
    ID KPG: 59160
    Usia: 15+
    Bahasa: Indonesia
    Penerbit: KPG

  • Identitas dan Kenikmatan

    Identitas dan Kenikmatan

    “Heryanto memiliki kemampuan yang langka untuk mengaitkan analisa tajam atas bentangan masalah media dengan pertanyaan-pertanyaan teoretis yang lebih luas dalam kajian budaya.” (Profesor Krishna Sen, Dekan Fakultas Sastra-Budaya, The University of Western Australia “Buku ini bukan hanya menerka berbagai isu dalam masyarakat mutakhir, mulai dari islamisasi budaya kaum muda perkotaan hingga K-Pop, politik jalanan, minoritas Tionghoa, dan representasi tragedi 1965-66, tetapi juga memperlihatkan kebertautan antar isu tersebut dan bermuara pada problematisasi narasi-narasi besar seperti nasion dan nasionalisme, globalisme dan globalisasi, modernisme dan modernitas, yang selama ini diterima begitu saja.” (Dr Budiawan, Universitas Gadjah Mada “Kekuatan buku ini adalah kajian lintas disiplin yang cair, yang dapat mengaitkan hal-hal yang tak terlihat berkaitan, seperti K-Pop dengan identitas Tionghoa dan gaya hidup islami, representasi kekerasan 1965 dengan premanisme dan tatanan politik formal. Buku ini menjawab kebutuhan akan pemahaman yang lebih kompleks tentang politik identitas dan budaya populer di Indonesia sesudah Reformasi. Buku ini perlu dibaca oleh mahasiswa, ilmuwan, dan pegiat budaya di bidang kajian budaya, kajian Indonesia, dan kajian Asia Tenggara.” (Profesor Melani Budianta, Universitas Indonesia) “Dalam buku ini, Ariel Heryanto membawa kita ke suatu perjalanan yang secara visual amat memukau, dan tampaknya menjadi awal kebangkitan budaya layar Indonesia. Karya sang pelopor kajian budaya Indonesia ini menunjukkan bahwa gejala budaya yang seakan-akan ‘baru lahir’ ini—yang diproduksi baik di atas layar maupun di balik layar—sekaligus bersifat global, punya sejarah panjang, dan berakar mendalam pada kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Buku ini wajib dibaca oleh semua yang ingin memahami budaya pop Indonesia mutakhir dengan berbagai kontradiksi yang ada di dalamnya.” (Associate Professor Bart Barendregt, Leiden University)

    Penulis: Ariel Heryanto
    Penerjemah: Eric Sasono
    Editor: Christina M. Udiani
    Penataletak Isi: Dadang Kusmana
    Perancang
    Sampul: Wendie Artswenda
    Foto
    Sampul: Ariel Heryanto
    Kategori: Nonfiksi, Sosial Budaya
    Terbit: Agustus 2024 (cetakan keenam)
    Harga: Rp99.000
    Tebal: 366 halaman
    Ukuran: 140 mm x 210 mm
    Sampul: Softcover
    ISBN: 9786024244125
    ID KPG: 59180148
    Bahasa: Indonesia
    Usia: 15+
    Penerbit: KPG

  • Penunggang Kuda dalam Kegelapan

    Penunggang Kuda dalam Kegelapan

    “Kita memiliki banyak catatan yang mengindikasikan bahwa sejak dulu selalu ada orang yang merasa hidupnya nyaman dan berbahagia jika kehidupan politik dalam keadaan kacau…. Operator besar, yang ingin meraih keuntungan politik besar, bukan menunggu proyek, melainkan menciptakan proyek dan siap mendanai proyek sebesar apa pun. Permainan dilaksanakan secara canggih dan diberi kode highly confidential. Orang hanya bisa berbisik-bisik atau sekadar mengedipkan mata untuk menyatakan sesuatu. Tiap detik terasa gawat saking begitu rahasianya. Mereka dicekam ketegangan. Tapi bagi aktor yang sudah terlatih, ketegangan bisa diubah menjadi ketenangan. Doktrin utamanya: ciptakan kekacauan. Kalau keadaan sudah kacau, alhamdulillah, kita tinggal menunggangi baik-baik kekacauan itu. Pastikan kekacauan itu bisa membesar dan tak terkendali. Kita memanfaatkan kekacauan demi kepentingan politik kita sendiri.” —Mohamad Sobary Penunggang kuda dalam Kegelapan adalah kumpulan esai kelima Mohamad Sobary yang diterbitkan oleh KPG. Empat buku lainnya adalah Tikuse Pada Ngidung (2018), Mark Hanusz & Pramoedya Ananta Toer (2016), Semar Gugat di Temanggung (2012), dan Makamkan Dirimu di Tanah Tak Dikenal (2012). Sama dengan keempat buku sebelumnya, Kang Sobary tetap dengan jernih dan renyah mengupas serba persoalan di Tanah Air lewat kacamata seorang sosiolog, sastrawan, dan budayawan. Membaca kelima buku Kang Sobary, demikian panggilan akrabnya, tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa lelaki ini, yang pernah memimpin LKBN (Lembaga Kantor Berita Nasional) Antara (2000-2005), merupakan satu dari sedikit esais terbaik di Indonesia.

    Penulis: Mohamad Sobary
    Editor: Candra
    Kategori: Nonfiksi, Sosial Budaya
    Terbit: 12 Februari 2018
    Harga: Rp60.000
    Tebal: 275 halaman
    Ukuran: 135 mm x 200 mm
    Sampul: Softcover
    ISBN: 9786024247386
    ID KPG: 591801444
    Bahasa: Indonesia
    Usia: 15+
    Penerbit: KPG

  • Tikuse Pada Ngidung

    Tikuse Pada Ngidung

    “Kita tahu urusan ‘halal-haram’ dengan baik, tetapi mengapa yang ‘haram’ hanya mereka, sedangkan bagi kita segala kebejatan yang paling haram kita bungkus dengan jubah putih agar tampak seolah-olah halal? Adakah kau kira Tuhan terpesona melihat kelicikan seperti itu? Politik memang bisa dan selalu menipu. Orang banyak, yang lemah status sosial-politiknya, mudah pula ditipu. Kita puas melakukan penipuan demi penipuan selama Indonesiaku berdiri. Namun, mengapa Tuhan pun kita tipu?” —Mohamad Sobary Melalui Tikuse Pada Ngidung, Kang Sobary—demikian dia biasa disapa—berusaha menjaga akal sehat kita. Tulisan-tulisannya yang plastis dan renyah menguak persoalan demi persoalan yang berlangsung di Tanah Air. Realitas politik hingga perilaku agama disoroti dengan jernih lewat perspektif seorang sosiolog sekaligus sastrawan dan budayawan.

    Penulis: Mohamad Sobary
    Editor: Candra
    Kategori: Nonfiksi, Sosial Budaya
    Terbit: 12 Februari 2018
    Harga: Rp60.000
    Tebal: 290 halaman
    Ukuran: 135 mm x 200 mm
    Sampul: Softcover
    ISBN: 9786024247409
    ID KPG: 591801443
    Bahasa: Indonesia
    Usia: 15+
    Penerbit: KPG